Pro dan Kontra Anak Dijadikan Konten
Hello, Parents! Meskipun bukan dari kalangan publik figur, bukan juga seorang selebriti, tapi saya tertarik nimbrung tentang pro dan kontra anak dijadikan konten. Eh, ini nimbrungnya bukan untuk mencampuri urusan orang lain lho, ya.🤭 Tapi buat pengingat pada diri sendiri karena saya pun kerap mengunggah foto atau video bersama anak-anak di akun media sosial milik pribadi.
Sebelum menulis blog post ini, saya menyempatkan diri untuk menonton beberapa video milik seorang Youtuber ternama di Indonesia. Tentu tak lain adalah video yang sempat ramai karena banyak Netizen yang mengomentari aktivitas yang dilakukan si Youtuber cantik yang sekarang sudah menjadi seorang Ibu. Bagi saya penting banget menontonnya, apalagi ketika hendak menuliskan tentang anak yang dijadikan konten oleh orang tuanya. Ya...sekalipun saya tidak akan mengomentari kegiatan mereka yang katanya membahayakan si kecil. Tapi nurani saya terpanggil untuk menonton rekaman video dengan durasi hampir 17 menit.
Selain itu, ada juga berita viral di media sosial yang mana netizen mengomentari artis yang sampai saat ini belum mempublikasikan wajah anaknya. Banyak yang menuliskan komentar katanya rupanya enggak sesuai ekspektasi. Yasalam...memang kadang netizen itu semau-mau banget kalau komentar, ya. Kan memang ada orang tua yang sedari awal berkomitmen atau berniat tidak ingin memperlihatkan wajah anaknya sampai batas waktu tertentu. Di lingkaran pertemanan saya pun ada yang seperti itu, lho. Bukan karena parasnya tidak sesuai ekspektasi, tapi lebih menjaga privacy anaknya.
25 komentar
Ada plus minus nya memang, kalo saya kontenin anak itu salah satu ajang merekam memori untuk suatu saat nanti kalo udah pada gede, biar ada kenangannya, tapi juga tidak semua kegiatannya di jadikan konten, tetap ada batas privasi antara dunia anak dan social media
BalasHapusKalau jadi new parent kayaknya aku bakalan sering foto upload kegiatan si kecil. Tapi balik lagi untuk selalu peduli sama keselamatan si kecil, anggota lain perlu negur sih, krn parent sering merasakan bahagia berlebihan *cmiiw
BalasHapusHihi... saya banget nih, anak pertama itu banyaaak banget foto dan videonya semasa dia bayi. Makin besar makin berkurang. Pas anak kedua, nggak sebanyak anak pertama. Memang selalu ada yang pertama dalam setiap hal ya mbak.
BalasHapusPilihan untuk mempublikasikan atau menyimpan untuk diri sendiri pun itu adalah hak pribadi, jadi nggak perlu lah saling menghakimi
Anakku udah berada dalam umur yang ke mana-mana udah malu kalau sama ibuk, dan beberapa konten pun udah mulai berkurang frame dia. Kecualiiii pas dia butuh uang, dia bakal mau kerja bareng >.<
BalasHapusZaman saya belum kuat banget medsosnya, itu juga keinginan jepret jepret anak selalu kuat apalagi masih bayi, imut2 gak nahan. Apalagi makin ke sini kebutuhan konten seperti jadi kebutuhan primer aja, jadilah niat dokumentasi anak jadi lebih gak ngotak lagi caranya. Hihih, maapin Mba agak kasar saya, masih gemes kalo ingat si bayi itu dijadikan konten sama emak bapaknya. Miris
BalasHapusMemang perdebatan yang kayak gini gak bakal ada habisnya sih, sebenarnya ada plus minusnya kok dan kalau kita tau cara mengambil angle yang tidak terlalu mengeksploitasi anak menurutku masih oke sih ya. Apalagi kalau sebenarnya itu untuk edukasi sih ya.
BalasHapusDari awal saya ngeblog pendapat ini juga sudah ada pro kontranya. Tapi, saya selalu balikin ke diri sendiri. Sering-sering introspeksi, 'postingan saya aman gak, ya?'
BalasHapusAman di sini gak hanya menyangkut hal-hal privasi. Tetapi, juga aman dalam menjaga perasaan anak. Setiap kali posting, saya selalu mikir seandainya suatu saat anak-anak saya baca, seperti apa perasaannya? Kalau udah agak gedean mulai ditanya pendapatnya.
Alhamdulillah, sejauh ini mereka nyaman aja. Terkadang suka baca juga cerita-cerita tentang masa kecil mereka sendiri.
Kalau aku biasanya minta pertimbangan ke anaknya dulu karena memang anak yang paling enak diajak kerjasama yah si bungsu yang sekarang sudah kelas 5 SD, biasanya anakku suka tanpa ini itu dan aku jelaskan tentang konten yang akan di buat, kalau setuju ya lanjut kalau keberatan, tetap aku hormati keinginannya. Bahkan untuk upload foto buat konten biasa pun aku selalu minta persetujuannya, yang terpenting sih orangtua dan anak merasa nyaman dan aman dengan konten yang dibagikan.
BalasHapusInilah pentingnya orang tua mendapat edukasi atau berusaha mengedukasi secara mandiri, "Bagaimana sebaiknya atau apa-apa saja sih yang harus diperhatikan saat anak dijadikan konten"
BalasHapusApalagi di zaman digital, semua informasi bisa diakses.
Yang lebih penting lagi, akseslah informasi yang legal dan ofisial!
Ada juga yang bilang kalau tanpa gadget (memfoto/memvideo) momen bersama anak akan terus melekat dalam ingatan anak sampai besar. Momen dimana kita fokus membersamai anak tanpa diatasi.
BalasHapusApapun mau itu untuk konten atau tidak, selama niatnya kebaikan.. semoga berpahala ya buk
Sebenarnya ini menjadi pengingat buat kita semua ya..
BalasHapusKarena konten yang relate dengan kehidupan kita pun bisa menjadi pelajaran bagi banyak pihak. Ada pengasuhan di sana, ada bonding, ada komunikasi, semoga apapun yang dikerjakan dan melibatkan anak-anak bisa diambil hikmahnya bagi penonton.
Sejujurnya, aku penikmat konten bayi-bayi.
Heheh.. seneng banget kalo kelewatan bayinya Atta, bayinya Nikwil, rasanya seneng kalau anak muda zaman sekarang bondingnya tetap bagus terhadap anak-anak. Semoga keluarga Indonesia tetap bisa melihat dari sisi positif setiap konten yang disajikan.
ketika nanti rezeki memiliki anak, suamiku jg berpendapat ingin memberikan ruang private kepada anak. Tapi dari aku sendiri ingin terus memberikan dokumentasi dan itu bisa diranah pribadi aja. Keputusan yutuber itu, aku sangat-sangat ga setuju karena tampak bayi nya ketakutan
BalasHapusKalau menurutku sih, oke oke aja ya, anak ikut dalam frame untuk kita posting yg berbau iklan atau apalah.
BalasHapusYang penting tidak merugikan anak kayak bikin teauma, ketakutan, atau lainnya.
Merekam, memfoto anak, memang bisa jadi obat kangen di masa depan. Tapi mempostingnya di dunia maya, menurutku kita harus memilah dan memilih juga. Kebetulan anakku sudah 11 tahun, sudah cukup besar dan sudah bisa berpendapat. Kadang malah dia yang jadi "rem" ketika aku mau nyetatus soal adiknya. Masya Allah.
BalasHapusLalu, untuk akun berfollower banyak, sebaiknya memang membuat konten yang bermanfaat, ya.. Memang kita manusia ini tidak sempurna, tapi ketika kita sudah memposting sesuatu di ranah publik, kita bertanggung jawab akan akibat yang bisa timbul setelah itu. Nah, semakin banyak pengikut, otomatis semakin besar pula tanggung jawabnya kan?
Saya belum dikaruniai anak. Tapi saya akan memiliki banyak pertimbangan kalau akan menjadikan anak sebagai bahan konten. Tentu ini akan selalu menjadi prodan kontra, ya. Tapi lagi lagi kembali ke orang tuanya.
BalasHapusGa papa sih bikin konten bareng anak. Rata-rata sudah pada ngerti apa saja yang tidak harus dibagi melalui medsos. Tetap semangat ya ibuk Idah bikin kontennya.
BalasHapusAkuu sukaak sekali.produk switzal ketika anak2 masih pada bayi ajaa.
BalasHapusSenoga switzal makin.maju dan berkembang.
Aku suka nonton konten yang ngajakin baby mereka, lucu dan bikin gemes. Karena anakku udah besar semua saat konten digital hadir, ya aku nggak punya jawaban jujur apakah setuju anak dijadikan konten. Menurutku kembali pada diri sendiri, apakah konten tersebut bakal bikin kita dan anak nyaman, atau justru mengganggu
BalasHapusAku pribadi tim emak yang suka upload aktivitas anak hehe. Cuma emang aku batasi supaya gak terlalu berlebihan kyk misal pas mereka nangis, marah, gak pakai baju, big no buat diposting. Paling ya cuma urusan kerjaan atau dokumentasi pas bepergian. Trus skrng dah mulai pada nolak2 donk dipoto, jd wajib izin dulu ma anaknya hehe. Kalau gak mau yawda poto sendiri deh emaknya :D
BalasHapusMemang merekam aktivitas anak bisa jadi hal yang membahagiakan bagi orang tua. Disimpan boleh, kalau dipublikasin sesekali nggak apa-apa asal masih Dalam Batas wajar. Untuk kepentingan kerja sama dengan Brand, biasanya saya ngajak ngobrol anal dulu sih m, minta persetujuan dia.
BalasHapusKalau aku sah sah aja sih bunn...asal anaknya juga mau dan happy menjalaninya itung2 pengalaman tampil
BalasHapussaya kalau merekam kegiatan anak dan memoto mereka pastilah ada ya biar jadi pengingat. tapi kalau buat dipublikasikan saya masih milih-milih sih mau publikasikan yang mana. paling kalau mau posting juga yang bentuknya story jadi cepat hilang dan tentunya dengan persetujuan anaknya
BalasHapusKalau menurut sy tergantung kontennya, kalau positif, positif juga buat si anak, ga ada pemaksaan ke anak atau si anak bersedia, ga apa2. Tapi kalau ngorbanin anak demi konten spt mba seleb youtube itu, tidak.
BalasHapusMakin ke sini saya juga makin jarang update konten ttg anak-anak. Bahkan untuk blog pun sangat jarang update tulisan parenting karena anak-anak sedang tidak ingin diceritakan. Untuk pekerjaan biasanya saya tanya dulu mereka mau atau enggak diajak kerja sama. Begitu pun untuk konten pribadi. Anak sekarang senang diajak diskusi, jadi lebih enak menentukan iya atau tidaknya.
BalasHapushmm.. anakku diajak foto untuk produk tertentu nunggu moodnya juga sih. Gak murni dijadikan konten banget. wehehe.. tergantung value keluarga juga ya bun, cuma kalau sudah dieksploitasi ya jangan sampai
BalasHapusHaai...mohon dimaafkan kalau aku terlambat atau malah ngga balas komentar kalian, ya.