Hello, Parents! Orang tua mana yang tega melepaskan anak usia 6 tahun pergi renang sendirian? Sepertinya jarang, ya. Sekalipun ada orang dewasa yang membersamainya, tapi banyak orang tua yang merasa belum tega dan pastinya banyak hal yang menjadi bahan pertimbangan. Keselamatan anak, misalnya. Atau, ada juga orang tua yang merasa buah hatinya belum sepenuhnya bisa mandiri di usia tersebut.
Tolak ukur sikap mandiri anak memang tidak tergantung pada usia. Orang tua dapat melihat kemandiriannya pada kesiapan anak ketika akan bepergian. Bagaimana anak sudah dapat memahami arah, sudah mampu berkomunikasi dengan orang lain, memahami rambu-rambu lalu lintas, dan teliti terhadap barang bawaannya. Paling tidak dengan identifikasi tersebut, orang tua sudah punya sedikit keyanikan untuk mengizinkan anak bepergian sendiri.
Kronologi Anak Usia 6 Tahun Pergi Renang Tanpa Orang Tua.
Jum'at, 19/6/2022 pukul 13.30. Siang itu saya baru saja pulang dari dinas dalam kota. Baru saja duduk dan merasakan kenyamanan, saya menerima telepon dari Bapak. Beliau mengabarkan bahwa cucu kesayangannya sudah lama tidak terlihat di sekitar rumah. Dari penyampaiannya, Bapak khawatir sekali. Sampai saya yang biasanya selalu berusaha menyikapi telepon dengan tenang, kali ini ikut khawatir.
Jujur, tubuh ini masih membutuhkan istirahat mengingat baru melakukan perjalanan yang cukup jauh dengan medan yang tidak biasa. Namun tentu saja saya tidak bisa kembali merasakan kenyamanan duduk di kursi. Terlebih saat saya kembali menerima telepon dari Bapak dan menerima update informasi kalau Kecemut pergi bersama teman baiknya dengan mengendarai angkutan umum menuju arah Cangking, sebuah obyek wisata wahana air yang jaraknya kurang lebih 15 km dari rumah dan harus naik angkutan umum 2 kali untuk sampai lokasi.
Suami yang saat itu masih kerja, langsung saya kabari dan shock banget, sama seperti saya ketika mendengar kabar yang membuat lutut lemas seketika. Saking was wasnya, saya langsung ambil kontak sepeda motor untuk bergegas menyusul ke Cangkring. Baru keluar dari ruangan, hujan turun dan langsung deras. Terbayang hati ini seperti apa, Bun?
Mengulang Kesalahan yang Sama. Namun, Kali Ini Lebih Astgahfirullahal'adzim.
Kejadian ini tidak hanya sekali. Setelah Jum'at Kecemut renang bersama seorang teman baiknya, Minggunya dia kembali melakukan hal yang sama. Kali ini dia ke Cangkring tidak hanya bersama satu teman, namun bersama lima temannya dan yang paling besar adalah usia 9 tahun. FYI, ini bukan kali pertama Kecemut pergi ke Cangkring. Kami sekeluarga sering renang di sana. Bisa dibilang, tempat renang ini menjadi kolam renang favorit karena airnya jernih alama dan aroma kaporitnya tidak begitu terasa.
Terlalu khawatir amarah saya akan meledak saat bertemu dengan Kecemut di Jum'at sore, saya dan suami memilih untuk sama-sama menenangkan hati. Kami tanya jawab dengan santai meskipun sebenarnya ingin sekali meninggikan volume suara. Kami memberikan pengertian dan meminta tolong kepada Kecemut untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan lagi.
Hati ini rasanya tidak rela atas pengambilan keputusan Kecemut untuk pergi bersama temannya. Tapi saya merasa harus punya waktu khusus untuk menumpahkan semuanya sampai tuntas dengan harapan Kecemut lebih paham lagi.
Belum sampai tumpah, kejadian yang sama kembali terulang pada hari Minggu. Artinya, masih dalam minggu yang sama, Kecemut melakukan kesalahan yang sama.
Sampai di sini, mungkin ada yang bertanya-tanya, "Bagaimana anak-anak yang masih di bawah umur bisa sampai Cangkring? Berapa uang yang mereka bawa untuk dapat menikmati wahana air? Apakah mereka bisa menyeberang jalan? Apakah di angkutan umum mereka baik-baik saja?"
Saya speechless! Apalagi ketika tahu mereka ke Cangkring membawa uang saku 100 ribu yang mana uang tersebut didapat dari Kecemut. Hiks...Kecemut memberanikan diri mengambil uang lembaran berwarna merah yang saya simpan di lemari. Kebetulan tersisa satu lembar. Memang tidak terlihat, tapi mungkin dia tahu tempat saya menyimpan uang. Dan ini kali pertama dia mengambil uang orang tuanya tanpa izin.
Sebagai orang tua, shock banget rasanya. Hati ini patah rasanya, se patah-patahnya. Bukan hanya lutut saja yang lemas, tubuh ini serasa tak bertulang.
Anak Memang Seorang Peniru Ulung.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pepatah yang sering kita baca dan dengar ini dipakai untuk mengacu pada adanya kemiripan sikap, perilaku, dan pola pikir antara orang tua dengan anak-anak. Pun dengan istilah anak adalah seorang peniru ulung. Peran Ayah Ibun atau orang di sektiar anak dalam memberikan stimulus sangatlah penting, karena sikap, perilaku dan kata-kata yang baik atau buruk yang keluar dari mulut akan sangat mudah di tiru oleh anak.
Terkadang ada orang tua yang lupa akan pribadinya yang sekarang atau saat sudah menjadi orang tua. Anak-anak setiap hari bersama kita, mulai dari bangun tidur, hingga kembali tidur pada malam hari. Mereka dapat melihat, mengamati, bahkan meniru apa saja yang kita lakukan. Dan sudah menjadi hal biasa ketika anak melakukan kesalahan kususnya dari sisi perilaku pasti akan dihubungkan dengan orang tuanya.
Dalam konteks kesalahan yang dilakukan Kecemut, tidak sedikit orang yang berkomentar kalau perilakunya sama persis dengan Ibunya saat masih kecil. Iya, kali ini obyeknya adalah Ibunya, bukan Ayahnya. Hahaha.
Menurut mereka, dulu saat saya masih kecil suka bepergian sampai membuat orang tua bingung harus mencari ke mana. Komentar ini langsung saya patahkan, dong. Ibu saya pun tidak membenarkannya. Karena faktanya, saya mulai sering jarang pulang karena Traveling, tuh, sejak lulus kuliah dan menjadi seorang Ibu.
Kecemut menjadi lebih berani dibanding teman-teman lain yang seusianya karena mungkin sering melihat saya pergi bersama teman-teman meskipun hanya melihat dalam bentuk dokumentasi. Dia juga tahu kalau saya lebih memilih naik angkutan umum ketika bepergian. Dia paham betul karena sering saya ikutkan.
Jadi, dia melihat seluruh aktivitas saya ketika sedang bepergian bersama teman-teman atau rekan kerja.
Mungkin mulai dari sini, dia pelan-pelan belajar meniru untuk bepergian dengan transportasi umum. Yang membuat saya shock, kenapa ini terjadi disaat usianya masih sangat dini di mana tingkat keamanan transportasi umum, khususnya angkutan dalam kota di tempat saya tinggal belum semua aman, ramah dan nyaman untuk anak-anak.
Anak Adalah Tempat Belajar Bagi Para Orang Tua.
Satu yang menjadi catatan kami, khususnya saya yang lebih sering mengajak anak-anak bepergian kerap lupa menyampaikan informasi penting seperti kapan anak-anak boleh mulai naik transportasi umum. Saya seringnya hanya menyampaikan, "nanti kalau sudah besar, nanti kalau sudah berani, nanti kalau sudah punya uang, nanti nanti dan banyak nantinya", tanpa menyertakan detailnya.
Kejadian ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Dan memang benar, orang tua bisa belajar banyak dari anak-anak. Ya...barangkali pesan yang disampaikan kurang tepat atau bahkan tidak tepat. Entah dari cara penyampaiannya, penggunaan bahasa, istilah, atau hal lainnya.
Berkomunikasi atau menyampaikan pesan kepada anak-anak yang sekiranya memiliki risiko memang harus disampaikan secara penuh termasuk "do and don't", tidak boleh setengah-setengah.
"Nanti kalau sudah besar, yaa...kira-kira saat Mbak sudah SMP, baru bisa mulai naik angkutan umum. Itu pun kalau Mbak sudah merasa berani." Mungkin komunikasi tepatnya seperti ini. Ada kejelasan karena kadang anak-anak juga tidak bertanya balik.
Lebih lengkap lagi, sampaikan alasan kenapa baru bisa melakukannya saat sudah besar, saat sudah SMP. Termasuk risiko-risikonya tanpa ada maksud menakut-nakuti. Harus pandai-pandai dalam mengambil angle saat berkomunikasi dengan anak-anak. Pelan, fokus, jangan terburu-terburu ketika sedang mulai bercakap penting dengan anak-anak dan harus sampai tuntas tidak meninggalkan keraguan atau pertanyaan.
Malam itu, tepatnya setelah kejadian kedua Kecemut pergi ke Cangkring, saya dan suami ngbrol sampai dini hari karena kemi merasa keberanian Kecemut kali ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Obrolan kami mengalir begitu saja sampai tak terasa air mata ini sesekali menetes saking sedihnya. Apalagi hampir semua orang di desa kami tahu kejadian yang melibatkan lima anak.
Bisa dibilang, kejadian ini sempat viral di Desa tempat kami tinggal. Kira-kira selama sepekan. Hampir setiap berpapasan dengan orang, mereka menyapa Kecemut dengan bercandaan "Ayo ke Cangkring lagi". Mereka bercanda, sih, tapi melihat ekspresi Kecemut kasihan juga. Kami berharap semoga dia paham dengan kesalahannya dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Tarik nafas, sekian curhatan Ibun kali ini, ya. xixixi